1Jan

Foto2 Saat Angin Meniup Gelombang Yg Indah

ANGAN begitu indah ombak meriak tiba tiba jadilah gelombang nan indah yang tinggi mencapai surga adalah puncak kenikmatan pada tenangnya lautan.aku diam dalam kesunyian dan kilauan dari sang purnama di atasnya tenangnya laut begitu indah aku dalam kehanyutan dan ku rangkai kata indah 'terimakasih Tuhan' dengan laun angin meniup tenangnya air. Satu hal yang menarik contohnya adalah jika pameran foto atau lukisan hanya berada di dalam ruangan dan itu merupakan sesuatu yang konvensional, maka membuat Pameran Tshirt yang digantungkan berjejer sesuai tali dengan tiang-tiang dan ketika angin berhembus meniup tshirt tersebut membentuk gelombang layaknya ombak.

“Bukit Holbung!” Belum selesai saya menuntaskan pertanyaan tentang rencana petualangan esok hari, abang saya sudah berseru dengan semangat empat lima. Ingatan saya kembali pada sebuah judul tulisan di majalah maskapai penerbangan yang kami tumpangi hari sebelumnya, tentang bukit yang berada di daerah Samosir.

Ini adalah perjalanan pulang kampung yang amat lama–lebih tepatnya lima tahun–tertunda, yang terwujud karena dorongan sana-sini. Utamanya karena bujukan ibu saya untuk berziarah ke makam ibunya, nenek saya, untuk pertama kalinya. Sepertinya saya cucu yang tak terlalu beradab. “Kalau ibu tak ada umur lagi, bagaimana kalian tahu kuburan nenek?”. Tak bisa mengelak lagi. Terbanglah saya bersama ibu dan abang saya, juga Tama ke Medan. Esok harinya, kami merapat satu malam di Parapat untuk bernostalgia, sebelum melanjutkan perjalanan sekitar lima jam lagi menuju kampung halaman ibu dan nenek.

Angin

Tidak seperti sebelumnya ketika saya dan abang dan ibu harus menumpang –sebutan sepeda motor bagi orang Sumatra Utara, kali ini kami bisa menaati peraturan berkat kehadiran Tama. Sembari menyantap mi sop di kedai depan Pelabuhan Tomok untuk sarapan, kami menanti kereta sewaan diantar oleh pemiliknya. Dua kereta matic dengan bensin penuh tiba tepat saat makanan tandas.

Menggembala kerbau. Pusuk Buhit dilihat dari Samosir. “Pergi full pulang full, delapan puluh ribu, ya,” ujar bapak berjaket kulit hitam.

Hanya ada dua helm, alamat yang dibonceng mesti rela memasrahkan nasib pada pengendara. Belajar dari pengalaman, saya siap melindungi kepala dengan topi dan memakai jaket lengan panjang. Udara di Pulau Samosir memang sejuk melenakan, membuat kita alpa pada teriknya matahari. Lantas hanya bisa mengelus dada dan mengeluh saat kulit perih terbakar matahari.

Tama kebagian membonceng saya; mau bagaimana lagi, saya tidak bisa mengendari motor. Tak berapa lami kami melesat meninggalkan Tomok, tempat kapal dari Parapat berlabuh. Indonesia Abang dan ibu saya memimpin konvoi (dapatkah dua kendaraan menyebut perjalanannya sebagai konvoi?).